CERPEN 

Bosan Menyergap di Tengah Hari

M Firdaus Rahmatullah, lahir di Jombang. Alumnus PP Al Muhibbin Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dan PBSI STKIP PGRI Jombang. Karya-karyanya dimuat di Republika, Koran Tempo, JP Radar Malang, JP Radar Mojokerto, dan JP Radar Jombang. Tahun 2015, mengikuti workshop cerpen Kompas di Bali. Kini mengabdi di SMAN 1 Panarukan Situbondo.

 

Saya bermaksud mengunjungi paman sore itu. Hari masih siang. Saya sedang libur. Rumah paman cukup jauh dari tempat tinggal saya bila berjalan kaki. Rumah saya di Candimulyo. Maka saya naik lyn kira-kira tiga puluh menit perjalanan (andaikata tidak macet atau terlalu banyak ngetem) melewati tiga jalan “keluarga”: Jalan Presiden KH Abdurrahman Wahid (dulu bernama Jalan Merdeka), sampai di Bundaran Ringin Conthong kemudian belok kiri melalui Jalan KH A. Wahid Hasyim, lurus saja ke selatan hingga melintasi palang kereta api dan melewati Jalan KH Hasyim Asyari, masih ke selatan dan akan kau temui setopan bangjo, lalu belok kanan (menuju barat) melewati persawahan luas yang telah didirikan beberapa pabrik tripleks, dan sampailah di rumah paman di sebuah desa bernama Brambang. Di situ, satu-satunya rumah di seberang jembatan–setelah masuk beberapa meter–dan dikelilingi kebun mangga dan nangka.

Beberapa hari ini saya merindukan paman, terutama rambutnya yang seluruhnya putih bagai seorang resi, dan gondrong. Usia paman belumlah tua, kira-kira menjelang empat puluh tahun, dan ia belum menikah. Paman tidak memikirkan hal itu dan saya tidak mau menanyakannya terlalu jauh. Sepulang kerja, ibu saya mengatakan kalau paman sedang sakit sehingga akhir-akhir ini jarang bertandang ke rumah. Biasanya, saban sore, kata ibu, paman berkunjung, meski tidak setiap hari. Kadang membawa hasil kebun seperti pisang, singkong, talas, atau kadang hanya daun-daunnya saja. Saya jarang bersitatap dengannya bila berkunjung–pada jam segitu saya belum sampai di rumah. Saya bermaksud membesuknya sekaligus menemaninya malam harinya meski keesokan paginya saya harus berangkat kerja lagi.

Lyn yang saya tumpangi agaknya memang ngetem terlalu lama. Saya agak kesal akan sikap sopirnya. Perjalanan saya yang seharusnya setengah jam, meleset dari perkiraan. Beberapa penumpang bersama saya juga menggerundel seperti saya. Tapi si sopir santai-santai saja sambil mengisap rokoknya penuh nikmat. Asapnya terbang-bebas kemana-mana hingga memenuhi seisi lyn. Saya tidak tahu mesti berbuat apa lagi selain menunggunya menggerakkan angkutan massal ini. Saya akhirnya mengotak-atik smartphone. Memeriksa whatsapp dan messenger yang masuk, mungkin ada informasi dan percakapan yang cukup penting. Ada pesan penting dari pimpinan saya supaya menyelesaikan laporan akhir bulan sebelum datang bulan baru. Selebihnya, hanya berisi pesan teman yang pinjam uang, mengajak ngopi di angkringan, dan penawaran produk gadget terbaru serta bisnis jamu tetes yang sedang kekinian. Sayangnya, tidak ada sebuah pesan pun dari kekasih saya. Dua hari lalu kami bertengkar. Saya masih memaklumi kalau ia mungkin masih ngambek. Ya. Pertengkaran biasa ala sepasang kekasih bermotif biasa pula. Hingga detik ini, kami belum bermaafan, tiada yang memulainya, apalagi berinisiatif menegur-sapa sekadar menanyakan kabar masing-masing. Mungkin hubungan kami terlalu kekanak-kanakan.

Saya menghirup napas dalam-dalam lantas mengempaskannya seolah bosan. Bosan dengan suasana hati saya, bosan dengan sopir dan lynnya, bosan dengan rutinitas pekerjaan beserta targetnya, juga bosan dengan kekasih dan gawai saya, dan seterusnya. Saya berandai-andai meloncat dari mobil Carry ini, lalu terbang menuju rumah paman dengan sayap yang tiba-tiba tumbuh dan mengepak di punggung saya. Melintasi rumah-rumah dan pertokoan yang tampak semakin menjulang menusuk langit. Tanah dan persawahan pun kian habis dan ditumbuhi gedung-gedung yang digunakan untuk berbagai keperluan. Atau, menyalip mobil-mobil beragam merek dan tahun keluaran. Serta mengangkangi pohon-pohon di sepanjang jalan yang hanya tumbuh satu-satu di tepi trotoar yang malih fungsi menjadi kios-kios semipermanen aneka dagangan. Saya merasa bebas, sebebas burung-burung mengangkasa di atas awan di langit biru. Dan sampailah saya di rumah paman dengan selamat sentosa dan berbunga-bunga.

Akan tetapi, saya sempat membayangkan mendarat di salah satu toko atau warung di bawah sana, mencomot es krim yang dijajarkan di dalam kotak freezer, memakannya sekali lahap bagai memakan kue pai dalam ukuran sekali suap. Begitu. Mungkin begitu menyegarkan tenggorokan, yang sebelumnya meleleh di lidah dan secepat perosotan meluncur ke perut saya. Hari ini sungguh panas dan membikin keringat keluar begitu banyak. Saya tak kuasa berlama-lama di dalam lyn ini, sebenarnya. Andaikata dilengkapi AC atau pendingin semacam itu, barangkali kebosanan saya akan menjadi dingin lalu membeku bagai batu es yang lama disimpan di ruang berpendingin.

Tapi saya tidak sebebas itu. Tidak mungkin saya menjadi udara yang menyampaikan pesan dan jaringan tak kasat mata layaknya sinyal teve dan hand phone dan gelombang radio. Sungguh tidak mungkin. Tidak mungkin pula saya melesat seperti angin yang membantu menerbangkan burung-burung dan pesawat terbang aneka bentuk menuju tujuannya. Saya hanya manusia biasa yang harus melakukan semua perjalanan ini sebagaimana biasa sebagaimana kodrat saya sebagai manusia. Itu saja. Tidak lebih. Apalagi lebih dari itu.

Lalu, kira-kira paman sakit apa?

Saya menduga-duga, memang akhir-akhir ini musim demam seperti timbul tenggelam di peredaran cuaca yang tiada menentu. Saya mengharapkan lyn yang saya tumpangi ini lekas sampai supaya saya segera bertemu paman, menjabat tangannya, memeluknya, dan menanyakan kabar perihal sakit yang dideritanya. Ah, tiba-tiba saya begitu merindukan paman.

Ya. Saya merindukannya. Amat sangat merindukannya. Ketika ayah saya meninggal bertahun-tahun lalu di Negeri Jiran yang tidak tahu kabar musabab dan jeluntrungnya, sejak kecil saya sudah diasuh paman. Demikian yang dikatakan ibu ketika saya dewasa. Katanya pula, saya sering diajak paman menanam pisang di belakang rumahnya, memunguti buah salam yang masih bagus untuk dimakan yang tumbuh hampir memenuhi pekarangannya sementara bijinya biasanya saya jadikan peluru tulup (sejenis pistol yang dibuat dari bambu seukuran ibu jari orang dewasa yang cara menggunakannya dengan meniup biji tersebut di celah lubang itu; atau bila napas tidak kuat maka dipompakan dengan bantuan sebilah bambu yang juga diserut seukuran lubang bambu tadi), atau menjebak burung kokoberuk atau sikatan dengan umpan pulut yang ditancapkan di sebuah lubang seukuran batu bata dan di atasnya telah dipasang batu bata yang telah ditopang dengan sebatang ranting seukuran telunjuk paman. Selain itu, yang paling mengasyikkan adalah di malam-malam tertentu paman mengajak saya ke pasar malam, menaiki komidi putar atau menonton tong setan. Tapi kata paman, waktu itu, saya lebih gemar bermain mandi bola ketimbang permainan lain.

Seolah-olah, paman telah menjelma ayah kedua saya. Dan saya tak ingat apa-apa lagi tentang ayah saya, selain wajahnya yang buram terpampang di pigura yang ditempelkan di tembok ruang tamu. Itu saja.

Kebosanan saya menguap ketika angkutan ini hampir sampai di tujuan saya. Menunggu, jika dirasa, memang waktu serasa berjalan begitu pelan. Saya sampai di mulut jembatan menuju rumah paman. Sopir menurunkan saya di situ. Saya mesti masuk beberapa meter sebelum benar-benar sampai di depan rumahnya. Di mata saya hanya terbayang paman, paman, dan paman. Tiada yang istimewa dari paman selain kebaikannya kepada saya dan ibu saya, seraya menjalani hari-hari penuh kesendirian dan kesepian.

Ya. Kesendirian dan kesepian. Dua kata itu yang senantiasa menemani hari-hari paman dengan kehidupannya sebagai petani biasa sembari menyibukkan diri menghadiri kegiatan berkesenian di kota saya atau menonton pertunjukkan ludruk atau teater yang tak genap sepuluh jari dalam setahun. Di halaman rumahnya, ada semacam tempat yang biasa digunakan untuk latihan dan pertunjukan tari maupun teater. Beranda rumahnya yang langsung terhubung dengan ruang tamu biasa digunakan untuk acara sarsehan atau diskusi buku, baik lama maupun baru. Tapi lebih sering digunakan bagi teman-teman paman untuk menginap atau sekadar jagongan dan ngopi hingga dini hari. Selebihnya adalah ruang privasi paman yang dipenuhi buku-buku –kebanyakan tentang budaya dan sastra– berceceran di lantai, kursi, rak buku, rak piring, kaca rias, dapur, dan kasur.

Saya berdiri tepat di muka rumah paman. Saya mengucapkan salam sambil memanggil-manggil “paman”. Hening. Tak ada jawaban. Rumah paman benar-benar lengang. Lantas saya memberanikan diri masuk lebih ke dalam. Tapi, di kamar paman, kosong. Di dapur, lowong. Di kamar mandi, melompong. Saya tak habis pikir, jika paman sakit seharusnya ia tengah berbaring di dipannya atau menonton televisi di ruang tamu atau duduk-duduk di kursi makannya. Tapi paman tak ada di salah satu ruangan di dalam rumahnya sendiri.

Satu-satunya tempat tersisa hanya pekarangan belakang.Saya agak sangsi jika paman sedang di situ. Toh ngapain juga. Kan paman sedang sakit. Tidak mungkin ia keluar rumah dengan keadaan demikian meskipun itu masih di sekitar rumahnya sendiri. Akan tetapi suara krasak-krusuk kelaras di rimbun pohon pisang dan kesiur suara seperti keluar dari mulut manusia menuntun saya supaya bersegera menuju sumber yang telah didengar oleh telinga saya. Kian dekat suara itu seperti dengusan yang membikin merinding sekujur tubuh saya. Siut angin petang mendramatisasi suasana membuat saya makin mempercepat langkah saya. Dan, di balik kerimbunan itu, saya melihat paman dan ibu saling merintih dan menindih. [*]

 

2017, Januari

 

 

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

eighteen − 16 =